Thursday, October 21, 2010

Jadilah Kafilah MTQ UGM 2011 di Makassar



PEDOMAN PELAKSANAAN

MUSABAQAH TILAWATIL QUR'AN UNIVERSITAS GADJAH MADA TAHUN 2010

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan pula mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung-jawab.

Salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional itu, maka perlu adanya pembinaan mental dan spiritual bagi mahasiswa sebagai upaya untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan pemahaman dan penghayatan terhadap isi kandungan Al-Qur’an. Salah satu sarana mewujudkan hal itu adalah menyelenggarakan kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Mahasiswa Tingkat Nasional. Pada tahun 2011, MTQ Mahasiswa Tingkat Nasional dilaksanakan di Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam rangka MTQ ini, perlu dilaksanakan Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat Universitas Gadjah Mada untuk menyiapkan kafilah UGM yang akan dikirimkan.

B. DASAR

1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Sistem Pendidikan Tinggi.

3. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 182A tahun 1988 dan No. 48Tahun 1988 tentang Organisasi Lembaga Pengembangan Tilawah Qur’an (LPTQ). Bab VII pasal 9 ayat 1 menyebutkan bahwa Pembina LPTQ antara lain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

4. Keputusan Menteri Pendidikan & Kebudayaan No.155/0/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.5. Pola Pengembangan Kemahasiswaan (Polbangmawa) Tahun 2006.

C. VISI

Mahasiswa UGM yang cerdas, kompetitif, dan berakhlaq mulia

D. TUJUAN

1. Meningkatkan kualitas ketaqwaan mahasiswa UGM kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Meningkatkan kualitas mahasiswa UGM dalam penghayatan dan pengamalan Al Qur'an.

3. Melestarikan seni dan budaya bangsa UGM berkenaan dengan Al-Qur’an.

4. Meningkatkan nilai ukhuwah Islamiah antarmahasiswa dan membentuk jati diri bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

E. SASARAN

1. Adanya wadah kegiatan kemahasiswaan yang positif dan dilaksanakan secara terencana-berkesinambungan, khususnya di bidang keagamaan.

2. Memberikan kesempatan bagi mahasiswa mengembangkan kemampuannya melalui kegiatan ekstra kurikuler, baik tingkat perguruan tinggi, wilayah, nasional, regional, maupun internasional.

3. Terjalinnya persahabatan antarmahasiswa dari berbagai fakultas dan yang sederajat di UGM.

II. KETENTUAN UMUM

A. TEMA

Peningkatan prestasi mahasiswa Universitas Gadjah Mada di tingkat nasional dengan Musabaqah Tilawatil Qur’an.

B. WAKTU DAN TEMPAT

MTQ Mahasiswa Universitas Gadjah Mada akan dilaksanakan pada hari Minggu, 31 Oktober 2010 di kampus UGM.

C. PELAKSANA

Pelaksana kegiatan MTQ Mahasiswa UGM atau disebut panitia pelaksana adalah panitia yang mendapat persetujuan Direktur Kemahasiswaan UGM yang selanjutnya disahkan dengan Surat Keputusan (SK).

D. PEMBIAYAAN DAN PENGHARGAAN

1. Biaya pelaksanaan MTQ Mahasiswa UGM berasal dari Direktorat Kemahasiswan UGM.

2. Panitia pelaksana memberikan penghargaan kepada peserta berupa sertifikat dan piala juara I, II, dan III bagi setiap cabang lomba baik pria maupun wanita.

III. PESERTA

A. PENGERTIAN

MTQ Mahasiswa UGM diikuti oleh mahasiswa yang terdaftar dan belajar di UGM pada strata Diploma, Strata 1, dan Strata 2.

B. PERSYARATAN UMUM

1. Peserta adalah mahasiswa yang masih aktif di UGM pada program Diploma, Strata 1, dan Strata 2, dibuktikan dengan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) pada tahun 2010.

2. Setiap peserta hanya boleh mengikuti 1 (satu) cabang musabaqah.

3. Batas usia bagi mahasiswa peserta, minimal 17 tahun dan maksimal 25 tahun yang terhitung tanggal 1 Januari 2011.

4. Menyerahkan foto berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 2 (dua) lembar, dan ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar.

5. Panitia harus memberikan ID Card berupa nomer peserta kepada mahasiswa yang telah memenuhi persyaratan sebagai peserta.

6. Peserta tidak boleh diganti mahasiswa lain, apabila sudah mendapat pengesahan dari panitia.

7. Peserta dinyatakan gugur apabila tidak memenuhi persyaratan sebagai peserta seperti yang tercantum dalam pedoman ini.

C. KETENTUAN CABANG MUSABAQAH

Cabang musabaqah adalah bidang-bidang yang dilombakan dalam kegiatan MTQ Mahasiswa Nasional, terdiri atas:

1. Musabaqah Tilawatil Qur’an yang dapat diikuti oleh qari’ (putra) atau qari’ah (putri).

2. Musabaqah Hifzhil Qur’an 1 juz (juz 1 atau juz 30) yang dapat diikuti oleh hafidz (putra) dan hafidzah (putri).

3. Musabaqah Hifzh Al-Qur’an 2 juz (juz 2 dan juz 3) yang dapat diikuti oleh hafizh (putra) dan hafizhah (putri).

4. Musabaqah Qira'at Sab'ah (Qalun dan Warasy) yang dapat diikuti oleh qari' (putra) dan qari'ah (putri).

5. Musabaqah Khathil Qur’an yang dapat diikuti khathath (putra) dan khaththatah (putri) dengan satu golongan, yaitu golongan dekorasi.

6. Musabaqah Fahmil Qur’an yang dapat diikuti secara perorangan (putra atau putri).

7. Lomba Debat Ilmiah kandungan Al Qur'an dalam bahasa Arab yang dapat diikuti secara perorangan (putra atau putri).

8. Lomba Debat Ilmiah Kandungan Al Qur'an dalam bahasa Inggris yang dapat diikuti setiap kafilah secara perorangan (putra maupun putri).

9. Lomba Karya Tulis Ilmiah Al-Qur’an yang dapat diikuti secara perorangan (putra atau putri) atau beregu, yang terdiri dari putra semua atau putri semua, atau campuran (maksimal 3 orang).

10. Lomba Pidato Kandungan Al-Qur’an yang dapat diikuti secara perorangan (putra atau putri).

11. Lomba Puitisasi Kandungan Al-Qur’an yang dapat diikuti secara perorangan (putra atau putri).

IV. KETENTUAN MUSABAQAH

A. CABANG MUSABAQAH

1. Musabaqah Tilawatil Qur’an atau Lomba Membaca Al-Qur’an.

a. Musabaqah Tilawatil Qur’an adalah cabang lomba membaca Al-Qur’an dengan bacaan mujawwad, yaitu bacaan Al-Qur’an yang mengandung nilai ilmu membaca (tajwid), seni (lagu dan suara) dan etika (adab) membaca.

b. Qira’at (bacaan) yang dilombakan adalah qira’at Imam 'Ashim riwayat Hafs dengan martabat mujawwad.

c. Maqra’ (materi bacaan) dari juz 1 – 30. Peserta wajib membaca maqra’ yang ditetapkan oleh panitia lewat undian.

d. Jumlah lagu minimal 5 (lima) buah lagu dengan lagu pertama adalah lagu Bayati/Husaini.

e. Tahapan Musabaqah

(a). Maqra’ ditetapkan oleh panitia 2 hari sebelum tampil.

(b). Penentuan giliran tampil setiap hari dilakukan sebelum acara musabaqah.

(c). Waktu tampil lomba : 8 – 9 menit.

(d) Dewan juri menentukan nilai berdasarkan urutan nilai tertinggi.

2. Musabaqah Hifzh Qur’an 1 juz dan 2 juz

a. Musabaqah Hifzh Qur’an adalah cabang musabaqah menghafal Al-Qur’an dengan bacaan murattal dan menggunakan qira’at Imam 'Ashim riwayat Hafs serta Mushaf Bahriah (Al-Qur’an pojok).

b. Peserta terdiri putra (Hafizh) dan putri (Hafizhah).

c. Materi pertanyaan yang diambil untuk 1 juz adalah juz 1 atau juz 30, adapun untuk 2 juz adalah juz 2 dan juz 3 dengan panjang bacaan ditentukan Dewan Hakim berdasarkan lamanya waktu membaca. Jumlah pertanyaan untuk masing-masing peserta sebanyak 3 buah.

d. Tahapan Musabaqah

(a) Peserta soal ditentukan pada saat akan tampil

(b) Penentuan giliran tampil setiap hari dilakukan sebelum acara musabaqah

(c) Dewan juri menentukan nilai berdasarkan urutan nilai tertinggi.

3. Musabaqah Qira’ah Sab'ah (Qira'at Qolun dan Warasy)

a. Musabaqah Qira’at Al Qur'an adalah musabaqah membaca Al Qur'an dengan menggunakan ragam bacaan yang mempunyai nilai sanad mutawatir yang dinisbatkan kepada imam qira'at tujuh. Dalam musabaqah ini menggunakan bacaan Imam Nafi’ dengan 2 (dua) riwayat Qalun dan Warasy.

b. Maqra’ (materi bacaan) adalah juz 1 – 30. Peserta harus membaca salah satu maqra’ dari 10 (sepuluh) maqra dibawah ini yang sebelumnya diserahkan kepada panitia ketika pendaftaran. Daftar maqra’ Qira’at babak penyisihan dan babak final sebagai berikut :

1. Al- Baqarah 21-23

2. Al-Imran1 102-103

3. Al-Imran 159-162

4. An-Nisa 1-2

5. An-Nisa 7-10

6. Bani Israil 9-12

7. Bani Israil 23-26

8. Al-Ahzab 40-44

9. Al-Fushshilat 30-33

10. Al-Hasyr 18-21

c. Jumlah lagu minimal 5 (lima) buah lagu dengan lagu pertama adalah Bayati/Husaini.

d. Tahapan Musabaqah

(1) Maqra’ diserahkan kepada panitia ketika pendaftaran.

(2) Penentuan giliran tampil setiap hari dilakukan sebelum acara musabaqah.

(3) Waktu lomba : 9 – 10 menit.

(4) Dewan juri menentukan nilai berdasarkan urutan nilai tertinggi.

4. Musabaqah Khaththil Qur’an

a. Musabaqah Khaththil Qur’an adalah cabang musabaqah menulis indah Al-Qur’an yang menekankan kebenaran dan keindahan tulisan menurut kaidah khath yang baku. Golongan yang dimusabaqahkan adalah golongan dekorasi.

b. Peserta bersifat perorangan (putra dan putri).

c. Materi musabaqah adalah ayat-ayat tertentu yang akan disampaikan panitia pada saat pelaksanaan musabaqah dengan menggunakan 2 (dua) jenis gaya tulisan khath seperti Naskhi, Riq’iy, Tsulutsi, Diwani, Farisi, Kufi dan Diwani Jali.

d. Tempat lomba bisa merupakan arena tertutup dan antar peserta harus diberikan jarak (berjauhan), menghadap ke satu arah (tidak berhadapan).

e. Perlengkapan peserta seperti meja, kursi, dan media papan/triplek disiapkan panitia, sedangkan mistar, cat berwarna, pena gambar dan perlengkapan lainnya disiapkan peserta yang bersangkutan.

f. Tahapan Musabaqah

(1) Persiapan

Penentuan meja peserta dilaksanakan 30 menit sebelum musabaqah dimulai.

(2) Pelaksanaan

(a) Peserta ditempatkan sesuai dengan nomor peserta pada meja dan peserta mendapatkan perlengkapan.

(b) Panitia membagikan ayat-ayat Al Qur'an yang dilombakan.

(c) Waktu yang disediakan selama 6 jam.

(d) Dewan juri menentukan nilai berdasarkan urutan nilai tertinggi.

5. Musabaqah Fahmil Qur’an

a. Musabaqah Fahmil Qur'an adalah jenis lomba pemahaman atau pendalaman Al-Qur’an dengan penekanan pada pengungkapan ilmu Al-Qur’an dan pemahaman kandungan ayat dalam bentuk cerdas-cermat.

b. Peserta bersifat perorangan, baik putra maupun putri.

c. Musabaqah dilakukan dengan menampilkan minimal tiga peserta, dengan sistem gugur dalam babak penyisihan, semi final, dan final.

d. Materi pokok, yaitu materi kuliah pendidikan agama Islam di perguruan tinggi yang meliputi aqidah, syari’ah, akhlak, ulumul Qur’an, bahasa arab & Inggris, menerjemahkan Al-Qur’an, Hadist, Kemasyarakatan, lingkungan hidup, kependudukan, kesejahteraan, kerukunan, ilmu pengetahuan & teknologi, dan lain-lain.

e. Materi tambahan meliputi ilmu tajwid, menjelaskan/mensyarahkan maksud ayat, ilmu tafsir, kisah-kisah dalam Al-Qur’an, sejarah Islam (tarikh), sejarah perkembangan Islam di Indonesia, dan lain-lain.

f. Materi disajikan dalam bentuk soal yang terdiri atas dua macam, yaitu soal regu dan soal lontaran (rebutan). Pelaksanaan secara rinci akan dijelaskan oleh panitia pada pertemuan teknis.

g. Tahapan Musabaqah

(1) Persiapan

Tahap ini diawali dengan pendaftaran regu dan penentuan urutan tampil.

(2) Pelaksanaan

a. Menentuan materi

Setiap regu memperoleh soal regu sebanyak 10 soal dengan cara mengambil amplop soal yang telah disediakan. Selain itu dalam setiap penampilan diberikan soal lontaran sebanyak 10 soal yang diperebutkan oleh setiap regu yang tampil.

b. Penampilan

Posisi meja regu ditentukan 30 menit sebelum lomba dimulai.

c. Lamanya Penampilan

Lama penampilan tidak dihitung dengan waktu, melainkan dengan berakhirnya pertanyaan lontaran terakhir.

3) Babak Semi Final dan Babak Final

(a) Peserta yang tampil pada babak semi final adalah peserta yang memperoleh nilai tertinggi pada babak penyisihan yang pengaturannya disesuaikan dengan jumlah peserta.

(b) Peserta yang tampil pada babak final adalah peserta yang memperoleh nilai tertinggi pada babak semi final.

6. Debat Ilmiah Kandungan Al-Qur’an Dalam Bahasa Arab

a. Debat ilmiah Kandungan Al Qur'an dalam bahasa Arab adalah Perdebatan tentang suatu masalah yang disampaikan secara nalar dan argumentatif dalam bahasa Arab yang di dalamnya mengandung unsur-unsur nilai yang bersumber dari nilai Al Qur'an dan Hadits Nabi.

b. Peserta Musabaqah ini diikuti secara perorangan, baik putra maupun putri.

c. Tema Debat ilmiah Kandungan Al Qur'an Dalam Bahasa Arab adalah:

(1) Al- Qur’an dan ilmu pengetahuan dan teknologi

(2) Al- Qur’an dan ekonomi

(3) Al- Qur’an dan sosial, budaya dan politik.

e. Judul Debat Ilmiah Kandungan Al Quran akan diberitahukan dua minggu sebelum pelaksanaan musabaqah.

f. Waktu debat: 30 menit.

7. Debat Ilmiah Kandungan Al-Qur’an Dalam Bahasa Inggris

a. Debat ilmiah Kandungan Al Qur'an dalam bahasa Inggris adalah perdebatan tentang suatu masalah yang disampaikan secara nalar dan argumentatif dalam bahasa Inggris yang di dalamnya mengandung unsur-unsur nilai yang bersumber dari nilai Al Qur'an dan Hadits Nabi

b. Peserta Musabaqah ini diikuti secara perorangan, baik putra maupun putri

c. Tema Debat ilmiah Kandungan Al Qur'an Dalam Bahasa Inggris adalah:

(1). Al- Qur’an dan ilmu pengetahuan dan teknologi

(2). Al- Qur’an dan ekonomi

(3). Al- Qur’an dan sosial, budaya dan politik.

e. Judul Debat Ilmiah Kandungan Al Quran akan diberitahukan sebulan sebelum pelaksanaan musabaqah.

f. Waktu debat: 30 menit.

8. Lomba Karya Tulis Ilmiah Al-Qur’an

a. Peserta Musabaqah Karya Tulis Ilmiah Qur’an dapat diikuti oleh perorangan atau beregu, maksimal 3 orang.

b. Tema Karya Tulis Ilmiah :

(1) Al- Qur’an dan ekonomi

(2) Al- Qur’an dan ilmu pengetahuan dan teknologi

(3) Al- Qur’an dan sosial, budaya dan politik.

(d) Judul karya tulis : bebas dengan mengacu pada ketiga tema di atas.

(e) Sifat dan isi tulisan, pembimbingan, dan pedoman penulisan karya tulis mengacu pada pedoman umum Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

9. Lomba Pidato Kandungan Al-Qur’an

a. Lomba pidato kandungan Al-Qur’an adalah cabang lomba yang mengungkapkan isi kandungan Al-Qur’an dengan cara menampilkannya dalam pidato.

b. Materi musabaqah adalah berbagai topik yang memiliki landasan ayat-ayat Al-Qur’an yang terdiri atas aqidah, ibadah, akhlak, kemasyarakatan/muamalah, dan lainnya.

d. Tahapan Musabaqah

(1) Persiapan

Tahap ini diawali dengan pendaftaran peserta dan penentuan urutan tampil. Adapun penentuan topik bahasan ditetapkan sehari sebelum tampil.

(2) Pelaksanaan

(a) Peserta tampil berdasarkan nomer urutan tampil.

(b) Waktu penampilan selama 5-8 Menit

(3) Tata cara penampilan

(a) Setiap peserta tampil di panggung secara bergantian sesuai urutan tampil.

(b) Ucapan salam disampaikan oleh peserta di awal dan akhir penampilan.

(c) Dewan juri menentukan nilai regu berdasarkan urutan nilai tertinggi.

10. Lomba Puitisasi Kandungan Al-Qur’an

a. Lomba pidato kandungan Al-Qur’an adalah cabang lomba yang mengungkapkan isi kandungan Al-Qur’an dengan cara menampilkannya dalam bentuk puisi.

b. Materi musabaqah adalah berbagai terjemahan dari ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an.

d. Tahapan Musabaqah

(1) Persiapan

Tahap ini diawali dengan pendaftaran peserta dan penentuan urutan tampil. Adapun penentuan topik bahasan ditetapkan sehari sebelum tampil.

(2) Pelaksanaan

(a) Peserta tampil berdasarkan nomor urutan tampil.

(b) Waktu penampilan selama 5-8 Menit

(3) Tata cara penampilan

(a) Setiap peserta tampil di panggung secara bergantian sesuai urutan tampil.

(b) Peserta tidak perlu menyampaikan ucapan salam di awal dan akhir penampilan.

(c) Dewan juri menentukan nilai regu berdasarkan urutan nilai tertinggi.

B. SISTEM SELEKSI

a. MTQ ini adalah seleksi tingkat UGM untuk memilih peserta terbaik yang akan diikutkan dalam pemusatan latihan.

b. Setelah pemusatan latihan, peserta akan diseleksi lagi untuk menentukan peserta yang terpilih mengikuti MTQ Mahasiswa Nasional di UMI Makassar tahun 2011. Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Mahasiswa Nasional ke XII, dijadwalkan digelar, 21–27 Juli 2011, di Kampus II UMI Makassar.

Monday, April 26, 2010

Bagaimana Menjadi Khotib Efektif?

‘Aidh al-Qarni dengan begitu lengkapnya memberi panduan tentang bagaimana meramu serta mengolah isi khutbah serta menjadi khatib yang baik. Marilah kita pelajari bersama-sama sebagai ilmu untuk kemudian kita praktekkan.

Allah SWT telah membuat perumpamaan dalam firman-Nya yang artinya :
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,

pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seijin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
(QS Ibrahim [14] : 24-25)

Kalimat yang baik adalah kalimat yang dapat merumuskan prinsip-prinsip, menyegarkan jiwa, menggerakkan generasi dan mendirikan sebuah bangsa.

Kalimat yang baik adalah kalimat yang memperbaiki kesalahan, mengukuhkan keadilan, meringankan kebatilan dan menghapus penyelewengan.

Kalimat yang baik adalah cara kerja, keuntungan masa lalu, musik penyemangat hari ini dan harapan yang menjanjikan di masa mendatang.

Kalimat terkuat di atas mimbar adalah nasihat pada hari di mana semua kepala tertunduk, jiwa-jiwa terdiam, mata berkaca-kaca, dan keheningan menghitam; sehingga khatib tidak mendengar kecuali hembusan nafas.

Ketika khatib berdiri, lidahnya basah dengan hujjah-hujjah, alunan suaranya merayap cepat ke dalam jiwa sebagaimana pergerakan air di batang pohon, pergerakan cinta di dalam hati dan pergerakan sinar ketika terpancar.

Khatib yang bagus, dengan ucapannya ia dapat membentuk umat yang tersia-sia menjadi umat produktif-efektif, umat membangun dan menanam, umat menulis dan membaca serta umat yang memberi (kebaikan) dan menolak (keburukan).

Hal pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. terhadap umat di padang pasir adalah menceramahi dan menasihati, memberi kabar baik juga kabar buruk, serta memerintah dan mencegah mereka.

Maka, umat-umat itu pun berubah menjadi umat yang suci, menjadi bintang yang mengarahkan dan menjadi kemilau cahaya yang menunjukkan tempat-tempat “pertempuran” bagian depan. Mengubah pujangga arak yang gila menjadi sastrawan yang sarat dengan kebijaksanaan dan penyenandung kebenaran. Mengubah bangsa Arab yang binasa menjadi hamba-hamba yang anggota tubuhnya selalu bergetar pada waktu sahur karena rasa takut kepada Allah.

Dialah khatib agung itu, Rasulullah saw., sebagaimana dikatakan, “Tidaklah beliau mengucapkan sejumlah kata, kecuali kata-kata itu membangunkan umat dari kehancuran.”

Lidah yang jujur lagi fasih dapat berperan di tengah masyarakat sebagaimana peran besar batalion yang bergemuruh dan tentara yang berpetualang.

Lidah yang jujur lagi fasih dapat menyentuh jiwa secara langsung, mengundang jiwa tanpa ada penghalang dan mengarahkan pandangan mata terhadap apa yang diinginkan.

Dengan khutbah yang menyentuh dan mengena, para pembawa panji kebenaran dan pemimpin kebajikan dapat menemukan keinginan-keinginannya.

Ketika mendengarkan khutbah, para penakut menjadi pemberani, si kikir menjadi dermawan, bodoh menjadi mulia, duduk malas menjadi usaha kreatif dan orang-orang yang hancur menjadi selamat.

Ketika mendengarkan khutbah, si fakir mendapat makanan, si telanjang mendapat pakaian, si korban musibah mendapat pertolongan dan air mata si penderita dapat dihapus.

Khatib yang berapi-api dapat mengobarkan semangat kepala para pejuang, membangkitkan gairah dalam diri para pembela kebenaran dan merangsang hati pahlawan perjuangan.

Ketika suasana menjadi gelap gulita, ketika peristiwa terjadi dan ketika bencana menimpa, maka khatib yang fasih akan mampu mengajak mereka untuk menyatukan pendapat secara bersama dan melontarkan tongkat penjelasan yang gamblang ke dalam kerumunan manusia. Tongkat hujjah itu dapat menelan kebatilan dan menjawab berbagai peristiwa.

Khatib yang fasih dapat menyulam sejarah panjang dalam sekejap mata, dapat menyusun harapan besar dalam tempo yang sangat singkat. Para khatib menolong umat hingga mereka menggapai puncak kejayaannya. Tapi jika kehormatan itu terkalahkan, mereka akan berusaha mengangkatnya, meskipun kepala mereka telah berada di atas bintang.

Jika para khatib menceramahi tentara tentang keberanian, mereka tak lagi memedulikan kematian, sehingga kematian itu tidak ubahnya seperti mengunjungi festival atau menyaksikan taman-taman indah berhias beraneka ragam bunga. Mereka mendorong para tentara untuk lebih berani, sehingga seolah hidup tanpa kematian itu tiada guna, diam tanpa pembelaan adalah sia-sia dan hidup tanpa perjuangan termasuk hal yang memalukan. Mereka tidak peduli di mana keberadaan musuh sehingga pedang-pedang para tentara itu laksana pena para penulis dan tombak-tombaknya adalah tongkat para pemain. Dengan berapi-api, sang khatib akan berkata,

“Siapa yang di telapak tangannya terdapat tombak
Ia seperti orang yang di telapak tangannya terdapat zat pewarna
Ia bisa menumpahkan warna apa saja yang ia mau.”

Jika para khatib menceramahi orang-orang kaya yang dermawan dan baik hati, mereka menjelaskan (perbuatan) memberi itu ibarat sebuah kehidupan, tidak memberi laksana sebuah kematian dan menginfakkan rejeki adalah kebahagiaan. Ceramah mereka yang berpengaruh telah mengeluarkan banyak rupiah. Ungkapan-ungkapan mereka yang tajam telah “menghamburkan” emas dan perak. Dan, dengan ceramah mereka, harta yang banyak tumpah dari tempat penyimpanannya dan simpanan-simpanan itu keluar dari timbunannya.

Jika menceramahi orang-orang miskin, para khatib menjadikan getirnya kemiskinan sebagai kebahagiaan dan penderitaan yang menghimpit sebagai suatu kemuliaan. Sebab, orang-orang miskin biasanya iri hati karena kemiskinannya dan cemburu karena ketidakpunyaannya.

Ketika memberi ceramah kepada korban bencana, para khatib mempersembahkan sanjungan dan keutamaan kepada mereka. Sebab, setiap orang yang tertimpa musibah, dinilainya sebagai sosok yang dipilih dan diseleksi karena musibahnya.

Para khatib yang gemilang dapat memindahkan benturan kekalahan menjadi kemenangan dan guncangan kesengsaraan menjadi keluhuran, dengan ungkapan yang agung dan kata-kata yang sakral.

Tidaklah kejadian, peristiwa dan penampilan-penampilan itu, melainkan hasil dari perkataan dan khutbah yang bersayap lagi bergemuruh.

Rasulullah memberikan ceramah yang sarat dengan makna pada perang Badar. Ceramah itu dapat mendekatkan surga kepada para perindu kebahagiaan, menciptakan kebencian pada kekekalan dunia ketika ia datang, mempermudah mati bagi para pencarinya dan yang menginginkannya. Karena itu, orang-orang beriman berlomba untuk mengikuti petunjuknya. Mereka seolah berada dalam peperangan dengan musuh demi memasuki ke delapan pintu surga, memerangi orang-orang kafir demi berkeliling di dalam surga al-Kautsar dan menghancurkan misi para penyembah berhala demi merasakan gelas penuh kenikmatan di dalam surga ‘Adn.

Demikian juga, Nabi saw. pun pernah menyampaikan khutbah sehari menjelang perang Uhud. Karenanya, para pahlawan itu enggan menetap di Madinah dan lebih memilih berangkat ke bukit Uhud. Gema suara khutbah itu terdengar di telinga seperti simbol-simbol pasukan, bendera gerilyawan dan tanda-tanda tentara.

Ketika Rasulullah meninggal, terjadi suatu kondisi memilukan. Namun, Abu Bakar kemudian bertakziah kepada keluarga yang terkena musibah, dan ia dapat mencairkan suasana, membalut luka, mengusap air mata, kembali menyalakan semangat, menerangi jiwa dan menghidupkan hati.

Ungkapan yang ia sampaikan seperti sebuah perkataan baru yang jatuh dari alam gaib dan menimpa sayap-sayap yang menerima, atau jatuh dari langit lalu menimpa simbol-simbol rasa cinta.

Adalah Thariq bin Ziyad yang mengarungi lautan dan menemukan komunitas orang-orang kafir. Ia kemudian menebar ketakutan di sana dan bertindak sebagaimana tindakan pahlawan perang. Pidato yang ia sampaikan menghunjam telinga para pemberani, memperkeras tombak sahabat-sahabatnya dan membuat para penakut maju untuk menikamkan tombaknya.

Thariq terus berkata-kata dan menggelegar-gelegar kalimatnya, sementara pasukannya terus merengsek, padahal maut di atas kepala dan kebinasaan mencandai setiap jiwa. Namun di bawah gemuruh pidatonya, ternyata tentara kaum muslimin mampu mengetuk pintu kesuksesan, mengangkat bendera kemenangan, walaupun banyak pahlawan rakyat jelata itu mati di atas debu medan peperangan.

Adalah Ali bin Abi Thalib kw., yang apabila berkhutbah ia melantunkan sumber-sumber penjelasan, menggenggam jiwa-jiwa dengan penuh kehalusan, memikat hati dengan penuh keterpikatan dan menghunjam kepala hadirin dengan kafasihannya. Ia mengantar khutbah seolah setiap kalimat yang diucapkannya merupakan lukisan yang sangat indah, cantik dan berharga.

Apabila Ibnul Jauzy menasihati manusia, maka di tempat ceramah itu akan ada pemandangan haru dalam kehidupan orang-orang itu. Ada getaran dalam jiwa manusia yang mendengarnya, ada air mata yang mengalir, ada keheranan pada mereka yang menyaksikan dan ada pula yang “tercambuk” karena cemeti nasihat yang disampaikan.

Sebagian khatib, apabila berkhutbah menggetarkan mimbar dengan gemuruh suaranya, sehingga para hadirin berada dalam genggamannya dan para pendengar berada di bawah kendali tangannya.

Sebagian khatib mengalirkan kata yang penuh ketenangan seperti air yang mengalir tenang dan damai, atau seperti angin yang bertiup lembut dan nyaman. Mereka menemani jiwa sebelum tubuh, dan menghangatkan hati sebelum badan.

Khatib yang efektif adalah khatib yang memiliki kendali atas inisiatif. Dia tidak meninggalkan jiwa-jiwa itu lepas dari genggamannya. Dialah yang menerjuni medan kosa kata dengan memilih kata terbaik dan meninggalkan kata-kata buruk. Dia dapat mengontrol diri, teguh pendirian, percaya diri, kokoh berpijak dan tenang pembawaannya.

Hati para hadirin bergetar karena pengaruh dari hati sang khatib dan jiwa mereka gelisah karena intonasi suaranya yang menghayu bayu.

Khatib yang bagus laksana banjir yang terus bergerak. Jika banjir itu terhalang oleh anak bukit, ia akan menggilas dan naik ke atasnya. Jika ia terhalang oleh lembah, ia akan memenuhi dan melintasinya. Jika ia menghadapi gurun pasir, ia akan bergerak ke kanan atau ke kiri, dan ke segala arah.

Khatib yang bagus selalu berusaha menenangkan dan terus menenangkan; sehingga pendengaran mereka menjadi tenang, dan jiwa mereka menjadi tentram.

Khatib yang bagus akan bertanya lalu diam, laksana singa yang sedang merenung. Ia terkagum-kagum dalam keadaan bingung laksana pujangga sastra. Ia meminta belas kasih melalui ungkapan seperti si miskin papa, memerintah seperti penguasa yang ditakuti dan meratap di tempat yang tepat untuk meratap. Dengannya, ia membuat orang-orang lupa akan “si hidung pipih”, dan ia pun membalut hati mereka dengan ungkapan ketabahan. Karena itu, kegerahan bencana menjadi hilang, seiring dengan datangnya rasa nyaman yang dipancarkan dari dirinya.

Khatib yang bagus dapat menafsirkan ayat-ayat dengan jelas, sehingga dapat melekatkan misi khutbah yang ia sampaikan dan solusi nasihat yang ia berikan lewat ayat-ayat itu.

Ia mampu menghafal hadits-hadits shahih sehingga perkataannya setipe dengan seluruh sabda Rasulullah dan hatinya selalu terkait dengan jiwa yang tidak memiliki dosa itu, Nabi yang agung.

Ia menguasai sastra dari berbagai sisi. Bait-bait syairnya mengalir dari lidahnya, menyenandung, menyemangati dan menyanyikan.

Ia memiliki cerita-cerita yang dapat disampaikan secara mengagumkan dan luar biasa; sehingga orang-orang yang mendengarnya merasa menyaksikan sendiri cerita itu bahkan merasa hidup di dalamnya.

Kita mungkin pernah menyimak berbagai peristiwa namun tidak merasa tergerak, kagum atau penasaran. Namun akan lain kondisinya jika kita mendengar peristiwa-peristiwa itu dari khatib yang lantang. Ia mampu mengemas cerita hingga menyentuh nurani kita yang sakit, yang pada gilirannya akan memercikkan bara kehangatan, semangat dan ketertarikan.

Seorang khatib yang bagus, ketika menyifati malam di siang bolong saat khutbah Jum‘at, maka hadirin akan merasa seolah berada di bawah kegelapan dan dikelilingi oleh sayap-sayap hitam. Ketika menyifati sungai, pendengar merasa seolah baju yang dikenakan basah setelah berenang dari sana. Ketika menceritakan tentara musuh yang jauh, kemudian jamaah melihat ke puncak gunung, mereka merasa bahwa bendera-bendera musuh sudah terlihat dan ciri-ciri mereka semakin dekat.

Tidaklah retorika itu melainkan menarik jiwa orang lain, memiliki hati mereka dan bertindak dalam perasaannya. Tidaklah retorika itu melainkan penguasaan atas koloni pemikiran, membuka keterikatan analisis dan menyelamatkan pendapat-pendapat yang beraneka ragam.
Retorika adalah persuasi, mengubah dari tersesat ke arah petunjuk, dari melenceng menjadi lurus dan dari kezhaliman menjadi keadilan.

Ketika sang khatib menginginkan pendengarnya sedih, ia harus mampu menyampaikan rasa duka dari dalam hatinya. Mengekspresikan rasa prihatin dari relung kalbunya, menggetarkan suara ketika menyampaikannya dan mengalirkan ekspresi-ekspresi kesedihan ke audiensinya.

Kata-kata pedih harus mengalir dari kedua bibirnya, rintihan-rintihannya terdengar seiring cucuran air mata, kalimat-kalimat sedihnya terdengar seiring dengan ungkapan-ungkapan yang ia sampaikan. Sehingga, semua orang menjadi menangis, semua orang menjadi berduka.

Ketika para khatib ingin mengobarkan semangat audiensinya, maka ia harus memotivasi mereka, bersuara keras untuk menebar pengaruhnya, memunculkan kekuatan pada diri mereka dan membangkitkan emosi dengan perasaan iba. Dengannya, para hadirin menjadi berani untuk tampil dan semua mata mencermati kapan datangnya detik-detik untuk berkorban.

Retorika mengandung arti bahwa khatib harus menenangkan sang pemarah yang dendam, yang penuh dengan emosi dan luka-luka. Khatib menenangkan hatinya, merayap ke dalam dirinya, mengeluarkan iri hatinya, melenyapkan kesesakannya; sehingga kepanasan yang ada dalam dirinya mendingin, jilatan api kemarahannya menjadi padam, kemarahannya lenyap dan ia kembali menjadi orang bijak, lurus dan toleran.

Retorika berarti bahwa khatib harus mendatangi sang durhaka yang selalu membangkang dan suka berselisih. Ia kemudian menghaluskan wataknya, berdialog dengan nuraninya dan menyentuh perasaannya; sehingga ia bertaubat, pasrah dan mengakui kesalahan-kesalahan dirinya.

Retorika tidak hanya sekadar kata-kata tanpa makna, arahan tanpa orientasi atau ekspresi tanpa pengungkapan. Retorika adalah keseluruhan itu. Retorika adalah suara dan bentuk, air dan bayangan, bangunan dan reruntuhan, perasaan dan makna, serta perumpamaan dan nilai.

Sebagian penjelasan laksana “magis” yang bisa memikat hati, mewarnai watak, mengubah bentuk, peristiwa, sesuatu atau situasi.

Dan, sebagian retorika adalah “sulap” yang dapat memberanikan diri sang penakut, meluluhkan hati sang pembangkang, memberi kesabaran bagi yang terkena musibah, mendermawankan orang bakhil dan mendorong maju sang penakut. “Sihir” retorika itu terletak pada ketinggian, kedalaman, pengaruh, makna-makna dan perasaannya.

“Kemukjizatan” retorika terletak pada penyampaian, kemanisan dan pewarnaannya. Lidah yang fasih dapat membuat hal-hal yang mengherankan akal, menyimpulkan berbagai peristiwa dan merumuskan berbagai realitas.

Adalah Ahnaf bin Qais, seorang yang kurus kering, tubuhnya lemah, matanya nyaris buta dan anggota tubuhnya hampir lumpuh. Tapi apabila berbicara, suaranya menggelegar di udara, menarik perhatian mata, menggoda pendengaran telinga dan menguasai hati. Inilah kefasihan itu.

Jika ia membela semuah misi, maka ia menjelaskan dengan pedang kefasihannya yang tajam dan menghancurkan gunung keraguan dengan palu hujjah yang menyeramkan. Dialah sosok yang menguasai situasi, guru peristiwa dan penguasa wilayah.

Retorika adalah keberanian yang nyata, maju yang tidak mengenal mundur atau berpaling, dan menghadapi banyak orang tanpa merasa takut, sedih ataupun malas.

Retorika adalah mempersiapkan segala yang ingin diutarakan secara lebih awal, memenuhi otak dengan beragam pembahasan dan menguasai pembicaraan di atas podium dengan sebaik-baiknya. Ketika semua itu sudah terpenuhi, sang khatib akan naik ke atas mimbar dengan penuh percaya diri, mantap keyakinan dan kukuh pendirian. Sebab, ia merasa telah mempersiapkan diri, memfokuskan pemikiran dan mempersiapkan diri untuk berhadapan. Tidaklah retorika itu hanya sekadar ratapan peperangan.

Bahwa kegagalan pertama seorang khatib adalah tidak mempersiapkan apa yang akan disampaikan di dalam hatinya dan tidak menyediakan ide-ide di dalam benaknya. Ia mengira bahwa keberadaannya di depan publik cukup hanya dengan memperkaya otak dengan beragam informasi dan memenuhi logika dengan berbagai ide. Padahal, sesungguhnya asumsi ini sama sekali tidak benar.

Sang khatib yang mumpuni selalu menyajikan khutbah dengan hati, perasaan dan anggota tubuhnya. Ia berbicara di depan publik dengan segenap darah, pembuluh darah dan segala esensi yang ada pada dirinya. Ia berbicara tentang rasa sakit, sedang ia orang pertama yang merasakan sakit itu. Ia merasakan itu tidak hanya dengan lidahnya, melainkan dengan hatinya. Sehingga, rasa itu tercermin pada emosi yang menggelegak di dalam dada, terlihat pada air muka, intonasi suara dan ekspresi serta isyarat-isyarat darinya.

Ia berbicara tentang berita baik, sedang bahagia dengan apa yang terjadi, bersuka cita atas sesuatu yang tercipta dan ia membahagiakan orang lain dengan orasi yang ia suguhkan dari relung jiwanya.

Khatib yang mengalir ucapannya adalah ensiklopedia berbagai pengetahuan. Ia tidak merasa sulit untuk berbicara tentang apa pun, bahkan pembicaraannya mengalir bak banjir yang memenuhi setiap tempat kosong.

Ia sering menelaah, menghapal, mencermati dan mengekspresikan berbagai hal, sehingga khutbah yang disampaikannya seperti sebentuk emas yang tersusun, berdekatan, tanpa bengkok atau kerutan.

Seorang khatib butuh pada pelatihan secara lebih awal dan tidak cukup hanya dengan mencermati karakter seorang khatib lain dan membaca ciri-cirinya. Akan tetapi, ia harus menyelami dunianya sendiri, berkeliling, bereksperimen, dan (bersikap) luwes. Persis seperti berenang. Untuk bisa berenang, setumpuk buku tebal tidak ada gunanya selama ia belum pernah mencoba mendatangi sungai dan menenggelamkan diri di sana, sesuai dengan teori yang dibaca atau diketahui.

Apakah kita mengira bahwa jika ingin mengajak orang lain untuk menyedekahkan harta, kita mampu melakukannya hanya dengan mengumpulkan ayat-ayat, hadits-hadits, lalu mengutarakannya kepada orang lain? Apakah kita mengira kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan?

Tidak. Kita harus mengumpulkan ayat-ayat, hadits-hadits, ibarat-ibarat, ide-ide, lalu membentuknya dengan perasaan, pemikiran dan jiwa. Kemudian menghias ucapan kita, menempatkan diri kita di tengah publik, serta mencermati apakah kemuliaan yang kita bawa itu menarik dan memengaruhi orang lain.

Sekadar pembicaraan yang tidak jelas arah tujuannya bukanlah sebuah retorika, melainkan hanya pembicaraan biasa. Tidak semua orang yang berbicara itu orator (khatib), sebab orasi itu sesuatu yang lain dari berbicara atau berkata-kata.

Tugas para khatib adalah menyampaikan misi kebenaran dengan penyampaian yang dapat memengaruhi dan mengena terhadap perasaan audiensinya. Para khatib itu menjelaskan tentang manhaj Rabbani (metodologi ke-Tuhanan) dengan penuh kehangatan, daya pikat dan daya tarik. Para khatib harus mampu menggemakan suara kebenaran, mengalurkan kejujuran dan kalimat-kalimat Islam di masyarakat.

Ada sekelompok orang yang tidak dapat dibujuk oleh pelajaran biasa, tidak dapat ditarik oleh pembicaraan ringan. Mereka hanya dapat ditarik atau digerakkan oleh pengaruh khutbah yang membekas, serta kefasihan yang mengalir begitu dalam dari sosok seorang khatib. Suara-suara itu harus mengena ke dalam relung hati pendengar, bahkan ke dalam hati yang paling dalam.

Orang-orang yang mengira peranan retorika itu sangat dangkal dan menganggap jeritan atau teriakan itu tidak dibutuhkan, maka mereka telah melakukan kesalahan riil. Sebab, orator nomor satu dan telah melakukan perubahan besar pada sebuah bangsa melalui khutbahnya, adalah Rasulullah Muhammad saw. Beliau menyampaikan khutbahnya dengan suara tinggi sampai wajahnya memerah, seolah beliau instruktur militer.

Meskipun manusia itu bertingkat, namun untuk menggerakkan jiwa mereka cukup hanya dengan pemikiran yang jelas dan penyampaian yang bagus. Dan, itu dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur terkecil yang memungkinkan keberpalingan dalam jiwa pendengar. Semua itu dilakukan dengan sentuhan-sentuhan nasihat dan kontinuitas khutbah, agar mereka menuruti panggilan dan mematuhi khutbah yang disampaikan khatib.

Khalayak ramai jelas membutuhkan para khatib yang kokoh dan terampil. Para khatib menyampaikan tugasnya untuk menasihati atau memengaruhinya, demi menghindarkan mereka dari berbagai kesulitan. Khatib yang baik memiliki pengalaman mumpuni untuk menghadapi berbagai peristiwa dan mempunyai semangat tinggi untuk sampai pada level teratas dalam berbagai hal.

Demikianlah nasihat ‘Aidh al-Qarni tentang bagaimana menjadi khatib yang bagus.

Daftar Pustaka :
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar) ”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Ibnu Hazm al-Andalusi, asy-Syaikh, “Di Bawah Naungan Cinta(Thawqul Hamâmah) – Bagaimana Membangun Puja Puji Cinta Untuk Mengukuhkan Jiwa”, Penerbit Republika, Cetakan V : Maret 2007

Adab-Adab Khutbah Jum’at

Khutbah Jum’at merupakan salah satu media yang strategis untuk dakwah Islam, karena ia bersifat rutin dan wajib dihadiri oleh kaum muslimin secara berjamaah. Sayangnya, media ini terkadang kurang dimanfaatkan secara optimal. Para khathib seringkali menyampaikan khutbah yang membosankan yang berputar-putar dan itu-itu saja. Akibatnya, banyak para hadirin yang terkantuk-kantuk dan bahkan tertidur. Bahkan, ada satu anekdot yang menyebutkan, khutbah Jum’at adalah obat yang cukup mujarab untuk insomnia, penyakit sulit tidur. Maksudnya, kalau Anda terkena penyakit itu, hadirilah khutbah Jum’at, niscaya Anda akan dapat tertidur nyenyak !

Di samping itu, para khathib itu juga tak jarang menyampaikan khutbah dengan cara yang kurang sesuai dengan adab khutbah Jum’at yang seharusnya. Misalnya, mereka berkhutbah dengan suara yang lemah lembut. Mungkin dianggapnya itu adalah cara yang penuh “hikmah” dan lebih cocok dengan karakter orang Indonesia yang konon ramah tamah, mencintai harmonisasi kehidupan, serta suka kedamaian dan kelembutan (?). Tentu akibatnya lebih fatal. Sudah materinya membosankan, penyampaiannya malah bikin orang terlena di alam mimpi. Padahal menurut contoh Nabi SAW, beliau berkhutbah secara bersemangat dengan kata-kata yang terucap secara keras dan tegas. Jika para khathib menggunakan cara penyampaian yang diteladankan Nabi ini, dengan materi yang aktual, hangat, dan dinamis, niscaya para hadirin akan bergairah dan penuh semangat, tidak lesu dan mengantuk seperti yang sering kita lihat.

Karena itu, kita harus mempelajari kembali adab-adab khutbah Jumat sebagaimana yang ada dalam tuntunan Syariah Islam yang mulia. Tujuannya adalah agar para khathib dapat menjalankan khutbah Jum’at dengan sebaik-baiknya dan agar khutbah yang disampaikan dapat turut memberikan kontribusi yang lebih positif bagi dinamika dakwah Islam.

Adab Khutbah Jum’at
Adab khutbah Jum’at dapat diartikan sebagai sekumpulan tatacara khutbah Jum’at, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang disunnahkan padanya1.

Dengan pengertian tersebut, maka adab-adab khutbah Jum’at di antaranya adalah sebagai berikut :

1. Disyaratkan bagi khatib pada kedua khutbah untuk berdiri (bagi yang kuasa), dengan sekali duduk di antara keduanya2. Kedua khutbah itu merupakan syarat sah jum’atan, demikian menurut seluruh imam madzhab3. Menurut Imam Asy Syafi’i, berdiri dalam dua khutbah dan duduk di antara keduanya adalah wajib4. Dari Ibnu Umar RA, dia berkata, “Bahwa Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, lalu duduk, lalu berdiri (untuk berkhutbah lagi) seperti yang dikerjakan orang-orang hari ini.” (HR. Jamaah)5.

2. Disunnahkan bagi khatib untuk memberi salam ketika masuk masjid dan ketika naik mimbar sebelum khutbah. Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW jika masuk masjid pada hari Jum’at memberi salam pada orang-orang yang duduk di sisi mimbar dan jika telah naik mimbar beliau menghadap hadirin dan mengucapkan salam. (HR. Ath Thabrani)6

3. Kedua khutbah wajib memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun khutbah dalam madzhab Syafi’i ada 5 (lima) : (1) Membaca hamdalah pada kedua khutbah, (2) Membaca shalawat Nabi pada kedua khutbah, (3) Wasiat taqwa pada kedua khutbah (meski tidak harus dengan kata “taqwa”, misalnya dengan kata Athiullah/taatilah kepada Allah), (4) Membaca ayat Al-Qur’an pada salah satu khutbah (pada khutbah pertama lebih utama), (5) Membaca do’a untuk kaum muslimin khusus pada khutbah kedua.7

Adapun syarat-syaratnya ada 6 (enam) perkara : (1) Kedua khutbah dilaksanakan mendahului shalat Jum’at, (2) Diawali dengan niat, menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, niat bukan syarat sah khutbah, (3) Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa bagi kaum berbangsa Arab, rukun-rukun khutbah wajib berbahasa Arab, sedang selain rukun tidak disyaratkan demikian. Adapun bagi kaum ‘ajam (bukan Arab), pelaksanaan rukun-rukun khutbah tidak disyaratkan secara mutlak dengan bahasa Arab, kecuali pada bacaan ayat Al Qur’an8, (4) Kedua khutbah dilaksanakan pada waktunya (setelah tergelincir matahari). Jika dilaksanakan sebelum waktunya, lalu dilaksanakan shalat Jum’at pada waktunya, maka khutbahnya tidak sah, (5) Khatib disyaratkan mengeraskan suaranya pada kedua khutbah. Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa rukun-rukun khutbah, khatib disyaratkan mengeraskan suaranya, (6) Antara khutbah dan shalat Jum’at tidak boleh berselang waktu lama9.

4. Disunnahkan bagi khatib untuk berkhutbah di atas mimbar, sebab Nabi SAW dahulu berkhutbah di atas mimbar10.

5. Disunnahkan bagi khatib untuk duduk pada anak tangga mimbar yang paling atas, sebab Nabi SAW telah mengerjakan yang demikian itu11.

6. Disunnahkan bagi khatib untuk mengeraskan suaranya pada khutbahnya (selain rukun-rukun khutbah)12. Diriwayatkan dari Jabir RA, bahwa jika Rasulullah berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya keras, dan nampak sangat marah, sampai beliau seperti orang yang sedang menghasungkan pasukan (untuk berperang) (HR. Muslim dan Ibnu Majah)13.

7. Disunnahkan bagi khatib untuk bersandar / berpegangan pada tongkat atau busur panah14. Ini sesuai riwayat Al Hakam bin Hazan RA yang mengatakan bahwa dia melihat Rasulullah SAW berkhutbah seraya bersandar pada busur panah atau tongkat (HR. Ahmad dan Abu Dawud)15.

8. Disunnahkan bagi khatib untuk memendekkan khutbahnya (tidak berpanjang-panjang atau bertele-tele)16. Diriwayatkan dari Amar bin Yasir RA, dia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya lamanya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, adalah pertanda kepahamannya (dalam urusan agama). Maka panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah !” (HR. Ahmad dan Muslim)

9. Dibolehkan bagi khatib untuk memberi isyarat dengan telunjuknya pada saat berdoa mengingat Rasulullah pernah mengerjakannya. Demikian menurut Imam Asy Syaukani-18.

10. Kedua khutbah wajib memperbincangkan salah satu urusan kaum muslimin19, yakni peristiwa atau kejadian yang sedang terjadi di kalangan kaum muslim dalam berbagai aspeknya. Hal ini mengingat Rasulullah SAW dan para khalifahnya dahulu –yang senantiasa menjadi khatib– sesungguhnya berkedudukan sebagai pemimpin politik (Al Qaid As Siyasi) bagi kaum muslimin.

Maka dari itu, perkara khatib saat ini pun seharusnya juga mengaitkan khutbahnya dengan realitas atau problem kontemporer yang ada di kalangan kaum muslimin, dan tidak sekedar mengulang-ulang khutbah yang kurang memberi kesadaran bagi hadirin, dengan tema yang itu-itu saja yang tentu akan membuat hadirin jemu, mengantuk, atau bahkan tertidur. Wallahu a’lam. [Muhammad Shiddiq Al Jawi - Dosen Jurusan Ekonomi Islam STAIN Surakarta-SEM Institute ]

CATATAN :

  1. Kata “adab” (jamknya “aadaab”) dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna, di antaranya adalah sejumlah tatacara yang selayaknya dilaksanakan oleh orang yang mempunyai pekerjaan / profesi (fan) atau aktivitas/tugas (shina’ah/tashurruf) tertentu. Misalnya, abad-adab Qadly (hakim) atau Khatib (penulis / pengarang). Lihat Al Mu’jamul Wasith, Dr. Ibrahim Anis dkk., hal. 9-10. Lihat Kamus Al Munawwir, Ahmad Warson Munawwir, jal. 14, 115, dan 853.
  2. Lihat Ahkamush Shalat, Ali Ar Raghib, hal. 104
  3. Lihat Rohmatul Ummah, (terjemahan), hal. 105
  4. Ibid., hal. 105.
  5. Lihat Nailul Authar, Imam Asy Syaukani, jilid III/304, Syarah As Sunnah, Imam Al Baghawi, jilid IV / 24-27, Majma’uz Zawaid, Al Haitsami, II/187, Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, jilid I/262.
  6. Lihat Majma’uz Zawaid, jilid II/184, Fiqih Sunnah, jilid I/260.
  7. Lihat Al Fiqih ‘Ala Al Madzahib Al ‘Arba’ah, Abdurrahman Al Jaziri, jili I/390.
  8. Perhatikan rinciannya dalam Al Fiqih ‘Ala Al Madzahibi Al ‘Arba’ah, jilid I/391-392.
  9. Lihat Al-Fiqih ‘Ala Al Madzahibi Al ‘Arba’ah, jilid I/392
  10. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104 , Syarah Sunnah, jilid II/242 dan 244, Majma’uz Zawaid, jilid II/183
  11. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104.
  12. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 105, Fiqih Sunnah, jilid I/262. Nailul Authar, jilid III/307.
  13. Lihat Nailul Authar, jilid III/307, Fiqih Sunnah, jilid I/263.
  14. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104.
  15. Lihat Nailul Authar, jilid III/305. Menurut Asy Syaukani, Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, isnad hadits ini hasan.
  16. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 105, Fiqih Sunnah, jilid I/263, Nailul Authar, jilid III/305-307.
  17. Lihat Majma’uz Zawaid, jilid II/190. Syarah Sunnah, jilid II/251.
  18. Lihat Nailul Authar, jilid III/308, Syarah Sunnah, jilid II/255.
  19. Lihat Ahkamush Shalat, hal. 104.
    ——
    * Makalah ini pernah disampaikan pada Kursus Khatib Angkatan XII, yang diselenggarakan oleh Badan Dakwah Islam Institut Ilmu Pemerintahan (IIP), di Jakarta, Jum’at, 10 Oktober 1997.

Wednesday, January 27, 2010

Ramadhan Terakhir

Monday, 07/09/2009 07:45 WIBCetak | Kirim | RSSAlkisah ada seorang kontraktor yang bekerja pada sebuah perusahaan property ternama di Jakarta. Di usianya yang ke lima puluh tahun, telah terpikirkan olehnya untuk mengakhiri kariernya sebagai seorang kontraktor dan kembali kepada keluarga yang telah cukup lama ia tinggalkan. Materi yang selama ini ia cari sudah ia dapatkan.

Alkisah ada seorang kontraktor yang bekerja pada sebuah perusahaan property ternama di Jakarta. Di usianya yang ke lima puluh tahun, telah terpikirkan olehnya untuk mengakhiri kariernya sebagai seorang kontraktor dan kembali kepada keluarga yang telah cukup lama ia tinggalkan. Materi yang selama ini ia cari sudah ia dapatkan. Harta dan kekayaan bukan lagi menjadi tujuannya, namun ia ingin mencari hakekat sebenarnya dari kehidupan ini. Dan tentunya mempersiapkan diri untuk kehidupan yang hakiki yaitu akherat kelak. Oleh karenanya pada pagi hari itu, sang kontraktor menghadap sang direktur dan mengajukan surat pengunduran dirinya.

Pada dasarnya sang direktur keberatan atas permohonan pengunduran diri bapak tersebut. Bagaimana tidak, selama ini bapak tersebut telah menjadi asset utama perusahaan. Keterampilannya tak perlu diragukan lagi. Perusahaan mencapai masa keemasan di masanya.

Setiap proyek yang ia tangani selalu berhasil. Beliau terkenal dengan kejujuran dan keprofesionalannya. Oleh karenanya, ketika sang kontraktor tadi mengajukan surat pengunduran diri, sang direktur mengajukan satu persyaratan. Yaitu untuk dibuatkan satu rumah lagi, rumah yang merupakan karya terbaik beliau sepanjang menjadi kontraktor dalam tempo satu tahun. Ketika mendengar syarat tadi, sang kontraktor sangat berkeberatan. Beliau ingin segera mengundurkan diri. Namun ternyata masih harus menjalankan tugas terakhir. Dengan sangat terpaksa, sang kontraktor menerima syarat yang diajukan sang direktur.

Ternyata hanya dalam tempo delapan bulan sang kontraktor mampu menyelesaikan tugasnya. Namun ternyata karyanya kali ini bukanlah karya terbaik, melainkan karya terburuk sepanjang kariernya. Bagaimana tidak, dengan perasaan terpaksa ia membangun rumah tersebut. Oleh karenanya kualitas bangunannya pun asal-asalan. Selesai membangun rumah tersebut beliau menghadap sang direktur.

“Ini kunci rumah baru yang menjadi syarat pengunduran diri saya,” kata sang kontraktor.

“Oh, tidak bapak. Sebenarnya rumah tersebut bukanlah untuk perusahaan. Melainkan itu merupakan hadiah untuk bapak atas pengabdian luar biasa bapak selama ini. Ambillah rumah tersebut.” jawab sang direktur.

Mendengar jawaban sang direktur, bapak tadi langsung lemas. Bagaimana tidak ternyata rumah yang ia bangun bukanlah untuk perusahaan, melainkan untuk dirinya. Mengapa ia tidak membangun rumah terbaik kalau ternyata itu untuk dirinya sendiri. Malahan rumah tersebut adalah rumah terburuk yang pernah ia bangun. Akhirnya bapak tadi menyesal atas apa yang ia lakukan. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur.

Na’udzubillah. Semoga kita tidak bernasib sama seperti bapak tadi. Apalagi di bulan Ramadhan kali ini. Inilah kesempatan kita untuk melakukan segala amalan terbaik di bulan penuh rahmat ini. Bahkan kita harus menjadikan Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan terbaik sepanjang hidup kita. Mengapa kita harus melakukannya?

Jawabannya tidak lain dan tidak bukan karena kita tidak pernah tahu apakah kita masih punya kesempatan untuk bertemu dengan bulan Ramadhan di tahun depan. Bisa jadi ini merupakan Ramadhan terakhir kita. Oleh karenanya kita harus menjadikannya sebagai Ramadhan terbaik. Hal ini perlu kita lakukan agar kita tidak bernasib sama dengan sang kontraktor tadi. Akhir yang menyedihkan karena di akhir kariernya sebagai kontraktor, ia malah menghasilkan karya terburuk bukan sebaliknya. Apalagi kita yang tidak pernah tahu masih bisa bertemu dengan bulan Ramadhan di tahun depan.

Sungguh sangat ruginya jikalau ini merupakan Ramadhan terakhir kita, namun ternyata kita malah melakukan amalan terburuk atau menjadikan Ramadhan kali ini sebagai Ramadhan terburuk dalam hidup kita. Oleh karenanya saat ini mulai harus kita azamkan dalam diri kita untuk melakukan segala aktivitas sebagai aktivitas terbaik dalam Ramadhan kali ini. Sholat-sholat kita merupakan sholat terbaik yang pernah kita lakukan. Tilawah Qur’an kita merupakan tilawah terbaik. Shodaqoh kita merupakan shodaqoh terbaik. Dakwah kita merupakan dakwah terbaik. Apapun itu yang kita lakukan adalah yang terbaik. Siapa tahu ini merupakan Ramadhan terakhir kita. Waallohu’alam bish showab.

Penulis : Adi Suharyanto, Menteri Agama Korps Mahasiswa Pemerintahan FISIPOL UGM

Sumber:

http://www.eramuslim.com/berita/hikmah-ramadhan/ramadhan-terakhir.htm